Guru Besar FH UB Malang Kritisi RUU KUHAP

UB Malang RUU Kuhap
Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof. Dr. I Nyoman Nurjana, SH, MH (Ist)

Kota Malang, inimalangraya.com –  Secara tegas, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof. Dr. I Nyoman Nurjana, SH, MH, kritik Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dalam pembahasan.

Ia katakan beberapa pasal dalam rancangan tersebut tumpang tindih dimana kewenangan lembaga penegak hukum, khususnya antara kepolisian dan kejaksaan, dikhawatirkan rusak Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).

“Berbicara penegakan hukum adalah terkait tentang sistem yang telah diatur KUHAP. Kita mengenal sistem peradilan pidana terpadu dalam hukum acara pidana di Indonesia, ” kata Prof I Nyoman seperti rilis yang diterima media pada Jumat (24/1/2025).

Prof I Nyoman jelaskan sistem peradilan pidana di Indonesia telah punya mekanisme jelas sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

“Sistem peradilan kita punya beberapa subsistem. Yaitu tahapan kemudian prosedur serta mekanisme juga kewenangan penegakan hukum,” imbuhnya.

Pengaturan Kewenangan Polisi Dari Tahap Penyelidikan dan Penyidikan

Pada kesempatan ini, ia soroti kewenangan polisi mulai tahapan penyelidikan dan penyidikan.

Hal ini telah tertuang dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

“Kepolisian tidak dapat langsung ajukan hasil penyidikan ke Pengadilan. Pasalnya hal tersebut adalah merupakan tugas Jaksa untuk membuat surat dakwaan,” paparnya.

Namun, ia sambung, ada sejumlah pasal dalam RUU KUHAP yang ia nilai bisa timbulkan kerancuan dalam sistem tersebut.

Pasal Yang Rancu Dalam RUU KUHAP

Salah satunya Pasal 12 Ayat 11 yang menyatakan bahwa apabila dalam waktu 14 hari polisi tak tanggapi laporan masyarakat, maka warta dapat langsung melaporkan ke Kejaksaan.

Tak hanya itu, pasal itu juga berikan kewenangan untuk Jaksa terima laporan warga secara langsung.

“Perlu hati-hati karena dalam sistem peradilan pidana di negara ini, Polri ber kewenangan sebagai penerima laporan itu sudah selaras,” tegas dia. “Kecuali tindak pidana khusus seperti korupsi. Dalam hal ini, Kejaksaan punya memiliki kewenangan khusus dalam penyidikan.”

Prof I Nyoman juga soroti Pasal 111 Ayat 2 dalam RUU KUHAP, yang berikan kewenangan untuk Jaksa dalam pertanyakan sah atau tidaknya penangkapan serta penahanan oleh Kepolisian.

Ia katakan hal ini sangat bertentangan, tak hanya KUHAP tetapi juga putusan Mahkamah Konstitusi.

“Kewenangan Jaksa menyatakan sah atau tidaknya penangkapan serta penahanan merusak mekanisme yang telah selaras. Hal ini bisa timbulkan conflict of norms serta ketidakpastian hukum,” kritik dia.

Ia juga komentari perubahan kewenangan kejaksaan sesuai UU Nomor 16 Tahun 2004 yang sudah diperluas lewat UU Nomor 11 Tahun 2021.

Perubahan ini menurutnya sudah cukup luas termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan dan intelijen.

Apabila kewenangan Kejaksaan lebih diperluas lewat RUU KUHAP, maka hal ini semakin kacaukan sistem peradilan pidana.

Sistem Terpadu Peradilan Pidana di Indonesia

Prof I Nyoman tegaskan sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan sistem terpadu. Tiap lembaga penegak hukum punya kewenangan masing-masing yang telah diatur dalam undang-undang.

Hal ini mulai dari Kepolisian yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002.

Sedangkan untuk Kejaksaan diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021.

Dan juga hingga pengadilan yang diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Penegakan hukum kita jelas. Tetapi apabila Jaksa mendapat kewenangan lebih luas, termasuk intervensi tahapan penyelidikan dan penyidikan yang jadi kewenangan Polri, maka hal ini dapat timbulkan conflict of interest,” lanjut dia.

Kejelasan RUU KUHAP

Prof I Nyoman pertanyakan apakah RUU KUHAP ini adalah perubahan dari UU Nomor 8 Tahun 1981 atau rancangan dalam gantikan undang-undang tersebut secara menyeluruh.

“Perlu kehati-hatian apabila belum jelas karena jangan sampai perubahan ini rusak sistem yang telah ada,” tegas dia.

Kembali ia ingatkan kendati RUU KUHAP  masih berada di tahap pembahasan, tetapi perlu masukan dari akademisi, atau praktisi Hukum serta pengamat hukum yang DPR RI harus dengar.

“Perlu pembahasan hati-hati akan RUU ini. Jangan sampai perubahan justru rusak sistem peradilan pidana terpadu yang sudah ada,” pungkas dia.

 

Tinggalkan Komentar