Polemik Dugaan Mark Up Pengadaan Tanah, Polinema Ajukan PK ke MA

Kota Malang, Inimalangraya.com – Perkara dugaan adanya mark up dalam pengadaan tanah yang dilakukan oleh Politeknik Negeri Malang (Polinema), tampaknya terus bergulir.
Sebelumnya, pihak Polinema mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan diputuskan bahwa pengadaan tanah untuk pengembangan kampus Polinema itu sesuai prosedur.
Dengan adanya keputusan tersebut, tergugat yang merupakan Direktur Polinema periode 2017-2021, Awan Setiawan, melalui kuasa hukumnya, Didik Lestariyono mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) atas perkara tersebut.
Pengajuan PK itu karena hasil putusan MA di proses kasasi yang sebut pengadaan tanah untuk kebutuhan pengembangan kampus Polinema sesuai prosedur.
Jadi, sesuai hasil putusan MA di proses kasasi, tudingan mark up ke eks Direktur Polinema Awan Setiawan tidak terbukti.
Karena itu, dikabarkan Polinema wajib tuntaskan sisa pembayaran yakni Rp20 miliar ke para pemilik tanah. Selain itu juga harus bayar denda yang capai ratusan juta.
Sikapi hal ini, Didik Lestariyono selaku kuasa hukum Awan Setiawan akui tidak ingin bertindak gegabah. Serta ia ajukan PK dimana dalam PK itu ada tiga hal yang Polinema gunakan.
“Yang pertama, PK dari pihak Polinema gunakan novum yakni bukti apraisal senilai Rp 37 miliar. Pak Awan serta Tim Sembilan beli tanah itu seharga Rp42 miliar dan telah termasuk pajak yang kurang lebih senilai Rp 7 miliar,” ucapnya saat ditemui diruang kerjanya, Rabu (8/1/2025). “Artinya harga bersih senilai Rp35 miliar dan lebih murah Rp2 miliar dibandingkan harga apraisal.”
Menurut Didik, Novum yang kedua adalah bukti status pemberhentian Awan Setiawan sebagai Direktur Polinema.
Didik sebut pemberhentian Awan Setiawan saat ini masih belum memiliki kekuatan hukum tetap. Karena pemberhentian itu masih dalam proses di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) saat ini .
“Pemberhentian pak Awan dengan hormat padahal belum inkrah. Pasalnya kita masih ajukan gugatan ke PTUN di Jakarta,” jelasnya. “Jadi bukan novum karena belum final dan belum bisa digunakan. Berarti tidak layak dan tidak penuhi kualifikasi sebagai bukti atau temuan bukti baru.”
Sedangkan, lanjut Didik, untuk Novum yang ketiga adalah pengakuan bukti kerugian negara yang ditetapkan oleh Inspektorat, atas pengadaan lahan pengembangan Polinema yang mencapai Rp 22 Miliar.
“Jadi, harga tanahnya itu Rp 42miliar dimana pembeli belum bayar penuh ke penjual, tapi tanah sudah dikuasai. Tetapi tiba-tiba dia katakan rugi Rp22 miliar. Jadi itu kan lucu,” paparnya.
Didik paparkan, seharusnya dalam perkara ini yang merasa dirugikan pihak pemilik tanah. Pasalnya Polinema hanya dapat bayaran sebesar Rp22 Miliar dari total kesepakatan harga yakni Rp42 Miliar.
“Yang merasa dirugikan seharusnya pemilik tanah, dimana Polinema tidak dirugikan sekali,” tegasnya.
Sebagai informasi, Polinema membeli total tanah untuk pengembangan kampus sebesar 7.104 meter persegi (m²) dengan nilai total Rp42.642.000.000.
Sementara pembayaran hingga proyek pengadaan tanah ini macet ternyata masih sisakan 3 termin senilai Rp20 miliar.
Sebenarnya direktur sebelumnya telah siapkan anggaran tersebut. Dan seharusnya tinggal bayar karena telah masuk dalam SIRUP LKPP.
Tetapi Polinema perkarakan pengadaan tanah itu karena tuding ada mark up yang direktur sebelumnya lakukan .
Alih-alih tuding indikasi mark up harga hingga membuat proses jual beli macet, pihak pemilik tanah kustru perkarakan hal ini.
Ia merasa digantung hingga akhirnya lakukan gugatan secara perdata kepada Polinema. MA mengabulkan permohonan para pemilik tanah alam proses kasasi serta putuskan pengadaan tanah sudah sesuai prosedur.
BACA JUGA
