FGD Pembaruan Hukum Acara Pidana Bahas Asas Diferensiasi Fungsional dan ‘Polisi’

Pembaruan hukum acara pidana
FH UMM gelar FGD bertemakan “Optimalisasi Kinerja Lembaga Penegak Hukum Melalui Pembaruan Hukum Acara Pidana (Ist)

Kota Malang, inimalangraya.com – Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) yang bertemakan “Optimalisasi Kinerja Lembaga Penegak Hukum Melalui Pembaruan Hukum Acara Pidana” dengan menghadirkan Prof. Dr. Tongat, SH., MHum sebagai pembicara utama.

Acara akademik ini dilaksanakan di lantai 8 Gedung GKB IV Universitas Muhammadiyah Malang dan dihadiri oleh berbagai kalangan akademisi serta praktisi hukum.

Dalam presentasinya, Prof. Tongat, yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UMM, menekankan betapa pentingnya pembaruan hukum acara pidana sesuai yang tercantum dalam Konsiderans Bagian Menimbang Huruf C Rancangan KUHAP (versi 3 Maret 2025).

“Pembaruan ini bertujuan untuk lebih menjamin hak-hak tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, dan korban, serta memperkuat fungsi dan wewenang aparat penegak hukum agar sejalan dengan dinamika ketatanegaraan, perkembangan teknologi informasi, dan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia,” ungkap Prof. Tongat.

Urgensi Tinggi Asas Diferensiasi Fungsional

Dalam konteks pembaruan hukum, Prof. Tongat menekankan bahwa Asas Diferensiasi Fungsional dalam sistem peradilan pidana memiliki tingkat urgensi yang tinggi, karena secara konseptual mencakup tiga dimensi utama.

“Pembagian kerja berdasarkan fungsi spesifik dalam sistem yang lebih besar, hubungan fungsional antar elemen yang bekerja secara terpisah namun saling bergantung untuk mencapai tujuan bersama, serta distribusi tugas antar lembaga atau unit guna memaksimalkan efisiensi dan efektivitas.”

Lebih jauh, diferensiasi wewenang penting untuk memastikan bahwa setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup dan batas-batas tugasnya. Ini bertujuan untuk mencegah tumpang tindih pelaksanaan kewenangan dan menghindari potensi kekosongan tanggung jawab. Pandangan ini sejalan dengan pertimbangan Putusan MK No. 28/PUU-V/2007 yang menekankan pentingnya harmonisasi dan keterpaduan fungsi antara aparat hukum.

Dalam FGD tersebut, Prof. Tongat juga menyoroti pengertian “Polisi Justisi” seperti yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Polisi justisi merupakan bentuk kerja represif kepolisian dalam mendukung tugas kehakiman, termasuk penyidikan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penggeledahan, pembuatan berita acara, hingga penuntutan pidana dan pelaksanaan putusan hakim.

“Konsep ini menegaskan keterlibatan kepolisian sebagai bagian penting dalam proses penegakan hukum secara prosedural,” tegas Prof. Tongat.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 RKUHAP, Prof. Tongat menyimpulkan bahwa rancangan KUHAP telah melakukan modifikasi terhadap Asas Diferensiasi Fungsional dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Salah satu bentuk modifikasi tersebut terlihat dalam Pasal 8 ayat (1) RKUHAP versi 21 Maret 2023, yang menyatakan bahwa dalam melakukan penyidikan, penyidik harus berkoordinasi dengan penuntut umum.

Menurutnya, koordinasi yang terlalu mendalam berpotensi menjadi bentuk intervensi kejaksaan terhadap proses penyidikan kepolisian. Di sisi lain, hal ini juga bisa mereduksi independensi dan kewenangan penyidik sebagai organ yang seharusnya menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan secara otonom.

Pentingnya Pengawasan Horizontal

Dalam sesi akhir diskusi, Prof. Tongat menyinggung tentang pengawasan horizontal antar lembaga penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP.

Ia menegaskan bahwa sesuai dengan KUHAP yang ada saat ini, tidak ada kewenangan langsung bagi kejaksaan untuk ikut dalam proses pemeriksaan, dan hubungan antara kedua institusi dibatasi pada koordinasi fungsional semata.

“Ketidakjelasan batas kewenangan seperti ini dapat memicu ketidakpastian hukum dan membuka ruang akumulasi kekuasaan dalam satu tangan. Seperti kata Lord Acton: kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pasti korup secara absolut,” tambahnya.

Melalui forum ini, Prof. Tongat mengajak semua pihak untuk mengawal pembaruan hukum acara pidana secara kritis dan konstruktif, agar tetap menjaga asas diferensiasi fungsional, memperkuat pengawasan antar lembaga penegak hukum, dan memastikan tidak ada dominasi institusi tertentu yang mengancam independensi proses peradilan.

Tinggalkan Komentar