Seminar Nasional Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa, Dekan FH Unisma Kritisi UU Kejaksaan dan Rancangan KUHAP

Seminar Nasional FH Unisma
Seminar Nasional bertema “Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa: Urgensi Revisi Rancangan KUHAP dan Rancangan UU Kejaksaan dalam Bingkai Sistem Peradilan Pidana”. pada Kamis (13/2/2025) (Humas Polresta Malang Kota)

Kota Malang, inimalangraya.com  – Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) Dr. Arfan Kaimuddin, S.H, M.H, dalam acara seminar nasional terkait tumpang tindihnya kewenangan polisi dan jaksa, tekankan perubahan regulasi hukum wajib selalu sesuaikan dinamika yang berkembang di tengah masyarakat.

Ia sampaikan ini dalam Seminar Nasional bertema “Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa: Urgensi Revisi Rancangan KUHAP dan Rancangan UU Kejaksaan dalam Bingkai Sistem Peradilan Pidana”.

“Hal ini tercermin pada evolusi hukum acara pidana. Dari  Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sampai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dimana tengah jadi perbincangan hangat serta tuai pro serta kontra saat ini.” Kata Dr. Arfan pada (Kamis, 13/02) di acara yang digelar oleh FH Unisma ini.

Berlangsung di Gedung Abdul Rachman Wahid Lantai 7 Unisma, Dr. Arfan jelaskan pada dasarnya sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System adalah proses penegakan hukum pidana yang  erat kaitannya dengan perundang-undangan yang berlaku.

“Criminal Justice System merupakan mekanisme penanggulangan kejahatan yang penerapannya wajib dilakukan melalui  pendekatan sistematis.” tegasnya.

Ketidakterpaduan Antar Institusi Hambat Efektivitas

Pada kesempatan itu, ia kutip  pendapat Marjono, dimana  Criminal Justice System adalah sistem pengendalian kejahatan  melibatkan empat institusi utama.

Empat institusi tersebut adalah yakni Kepolisian kemudian Kejaksaan serta Pengadilan, juga Lembaga Pemasyarakatan.

“Dalam praktiknya ketidakterpaduan antar institusi kerap hambat efektivitas dalam sistem peradilan pidana,” begitu ia lanjutkan.

Menurutnya, ketidakterpaduan Criminal Justice System memberi dampak akan beberapa aspek krusial.

Contohnya kesulitan menilai keberhasilan atau kegagalan tiap institusi.  Sedangkan yang kedua adalah hambatan selesaikan permasalahan fundamental pada tiap lembaga.

Disisi lain adanya Dr Arfan bilang adanya tidakjelasan pembagian tanggung jawab, berakibat pada kurangnya perhatian terhadap efektivitas sistem secara keseluruhan.

Ia menegaskan bahwa diperlukan revisi pada Rancangan KUHAP dan Rancangan UU Kejaksaan

“Sangat perlu adanya revisi dalam RUU KUHAP dan UU Kejaksaaan. Sehingga bisa diminimalisir serta sistem peradilan pidana bisa berjalan lebih efektif serta tidak tumpang tindih kewenangan,” lanjut Dr Arfan.

Pendekatan Normatif Dalam Criminal Justice System

Lebih lanjut dalam seminar nasional ini, guru besar FH Unisma itu jelaskan tiga pendekatan utama dalam Criminal Justice System perlu  pendekatan normatif.

Yakni dengan tempatkan aparatur penegak hukum dari keempat institusi tersebut diatas sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum sebagai pelaksana perundang-undangan.

Sedangkan pendekatan administratif, ia sebut bahwa aparatur penegak hukum adalah sebagai organisasi dengan mekanisme kerja  terstruktur, baik secara horizontal maupun vertikal dan sesuai sistem administrasi yang berlaku.

Yang ketiga adalah pendekatan sosial yaitu menempatkan aparatur penegak hukum dalam sistem sosial dengan libatkan peran serta masyarakat dalam keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas penegakan hukum.

“Ketiga pendekatan ini tak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi. Serta penerapannya harus  bersamaan sebagai pembenahan sistem peradilan pidana di Indonesia,” lanjutnya.

Sebagai penutup, Dr. Arfan menegaskan bahwa Integrated Criminal Justice System harus menjadi solusi utama dalam mengatasi permasalahan sistem peradilan pidana di Indonesia.

Penerapan sinkronisasi dalam sistem ini yakni mencakup tiga aspek utama yaitu sinkronisasi struktural, substantial,  dan kultural.

Kesemuanya, lanjutnya, adalah  wujud keselarasan vertikal serta horizontal dalam peraturan hukum positif.

Selain itu juga dapat perkuat pemahaman serta kesadaran hukum di tengah masyarakat dan juga aparatur penegak hukum sendiri.

Urgensi revisi Rancangan KUHAP dan RUU Kejaksaan, menurutnya, wajib jadi perhatian pemerintah serta para pemangku kepentingan segera.

Dengan demikian sistem peradilan pidana di Indonesia berjalan lebih efektif,  serta terintegrasi, juga tak lagi alami tumpang tindih kewenangan antar institusi hukum.

Turut hadir dalam acara ini adalah Guru Besar FH UB Prof Dr I Nyoman Nurjaya SH,MS, kemudian Wakil Rektor III Unisma Dr Moh Yunus MPd,  juga Wakil Ketua Umum Peradi Dr H. Salih Mangara Sitompul SH, MH yang berikan pandangan kritis tentang tidak seimbangnya kewenangan antara kepolisian dengan kejaksaan.

Tinggalkan Komentar